Sabtu, 26 April 2014

[Garut CH I] Kampung Naga yang Tak ber-Naga

Huraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaay....

Ada long weekend nih, itu artinya yuuuk mariiii kita  jalan - jalan :yahoo:.

Jadi ceritanya libur panjang kemaren, dihabisin untuk jalan - jalan sehari ajah, yang rencana awalnya cuma mau ke Kampung Naga yang ada di daerah Garut doang, tapi akhirnya malah nambah satu tujuan lagi. Dengan bermodalkan tas ransel, jadilah sabtu kemaren, setelah sholat subuh aku berangkat menuju Terminal Cicaheum, Bandung. Lucky me begitu di depan gang, udah ada angkotnya dan ga pake ngetem lama di tiap tikungannya . Menikmati Bandung di waktu subuh itu, memang tenaaang dan damai...ga kebayang deh ntar siangnya yang bakalan muaceeeet .  

Janjian ketemuan di depan Terminal Caheum dengan teman, dan sempat rada2 bingung bentar, mo naek bis yang mana nih, karna terlalu banyak masukan yang blur dari teman - teman yang  udah lamaaaaaaa sekali ga kesana, dan referensi dari beberapa blog yang dibaca. Memang liburan kali ini dadakan banget dan setelah diskusi bentar, akhirnya kita memutuskan untuk naik bis tujuan Garut, dan kita juga sempat nanya - nanya ke ibu - ibu penumpang, ini bis ongkosnya berapaa-an, dan dijawab ama beliow ya 12.000 saja, tapiiiiiiii begitu bis jalan dan sang kondektur nagihin ongkos, tentulah dengan pede-nya ngeluarin duit 24ribu untuk berdua, dan langsung dibalas dengan senyum merem meleknya si kondektur sembari bilang, "kurang neng..ongkosnya 17 ribu", aiiiiiiiiiiih :waat: .....si kenek ngambil kesempatan nih, tapi karna malas berdebat, yasudahlah kita nambahin aja, dan yang bikin nyeseknya, ke penumpang yang didepan kita doski nagihinnya cuma 12 ribu, padaal turunnya sama aja gituu...huuh, ga lagi - lagi deh diskusi di depan bis, untuk kedepannya..ga mau di tipuuu lagii :(
 
Wokeeh, kita lupakan saja si kenek merem melek ituu. Bis berangkat sekitar jam 6-an dan kita nyampe di Terminal Guntur, Garut sekitar jam 7.30-an lebih, sebenarnya jalanan sendiri lancar jaya tapi si bisnya pake acara ngetem di Cibiru. Setelah sampai di Garut, kita naik bis lagi yang arah ke Singaparna, dan untuk sampai ke Kampung Naganya cuma sekitar 45 menitan saja.
Untuk masuk ke Kampung Naga-nya sendiri sebenarnya bebas dan gratis, tapi berhubung ada beberapa tempat yang ga boleh difotoin, manalah ini pertama kali-nya juga kesini..akhirnya kita minta ditemanin ma guide aja, dan si guide nya ini bayarannya juga bebasss, terserah kita mau ngasi berapa.


Kampung Naga dilihat dari atas tangga

Dengan ditemani oleh Pak Darmawan, perjalanan di mulai dengan menuruni sebanyak 439 anak tangga , dan setelah itu kita disambut oleh hamparan sawah disebelah kiri dan sungai disebelah kanan. Untuk periode menanam padi, penduduk disani, cuma melakukan sebanyak 2x dalam setahun yaitu bulan Januari dan Juli yang disingkat dengan JANLI (JANuari juLI), mereka percaya kalau menanam di bulan itu, hasilnya bakalan lebih baik dan sejauh ini mereka ga pernah ngalamin masalah gagal panen.

Asal muasal nama Kampung Naga sendiri, berasal dari bahasa sunda yaitu Kampung diNagawir (di nagawir = di tebing/lembah). Kampung ini di kelilingi oleh 2 hutan yaitu Hutan Larangan dan Hutan Keramat. Disebut hutan larangan, karna siapun yang masuk kedalam hutan  tidak boleh mengambil atau membuang apapun yang adadidalam hutan ini, bahkan ranting sekali pun tetep ga boleh lhoo, alasan utamanya ya biar kelestarian alamnya terjaga ;-). Truuss kalo hutan keramatnya, disana tempat pemakaman penduduk Kampung Naga dan ga semua penduduk sana juga yang boleh masuk, kalo ga salah ingat cuma anggota kampung laki - laki dan yang berumur 40 tahunan yang boleh kesana.

Kampung Naga ini diperkirakan sudah ada dari tahun 1822, tidak ada kepastian tentang kapan awal mulanya kampung ini berdiri, itu semua dikarenakan pada tahun 1956 DI/TII ngebakarin kampung tersebut, sehingga arsip tentang kampung mereka juga ikut terbakar habis. Disini cuma memiliki bangunan sebanyak 113, yang terdiri dari 100 bangunan rumah penduduk dan 3 lagi adalah Mesjid, Ruang pertemuan dan Bumi Ageung (Rumah Agung), dimana tiga tempat ini, kita sama sekali ga boleh ngambil fotonya, karna dianggap sakral oleh penduduk setempat. Untuk bangunan rumah penduduknyanya di design saling berhadapan denga maksud agar mereka saling mengenal satu sama lainnya dan di bawah rumahnya ada kandang ayam, jadi bisa dikatakan seperti rumah panggung, cuma ga terlalu tinggi aja, truss di depan pintunya ada  ornamen ketupat dan teman - temannya, nah ini merupakan ciri khas penduduk sana, jadi kalo entar diluaran sana ada yang nemuin di depan pintu rumahnya ornamen ketupat itu, berarti si empunya rumah itu adalah keturunan masyarakat Kampung Naga. Untuk interior dalamnya, sangat - sangat sederhana cuma ada ruang tamu, ruang  tidur, dapur sekalian raung makan dan lumbung tempat menyimpan stok berasnya....dan Yupss...disetiap rumah ga ada yang namanya kamar mandi. Jadi kalo mo mandi ato nyuci ato BAB silahkan ke kamar mandi umum yang disediakan diluar rumah. Oiya sewaktu disana, aku ga liat sama sekali penduduk sana menggunakan sungai untuk MCK :good:. Dapurnya juga sangat sederhana, mereka masih menggunakan peralatan tradisional berupa dandang dan tungku ...*ngebayangin taste masakan, yang dimasak dengan peralatan itu bikin lapeerrr :like_food:*. Setiap rumah hanya boleh ditempati oleh satu kepala keluarga saja, jadi apabila suatu hari kelak anaknya ada yang menikah, yaa silahkan pindah deh :wink2:, tapi ntar boleh balik lagi kok apabila orang tuanya sudah meninggal :yes:, jadi no worry laah yaa. Hal ini dilakukan demi menjaga konsistensi jumlah penduduknya.

Kesederhanaan yang ada disini, karena filosofi dari nenek moyang mereka yang menekankan untuk hidup sederhana, ga berlebih - lebihan, pokoknya cukup untuk makan cukup untuk tempat tinggal, makanya Kampung Naga terkenal dengan kampung tanpa listriknya. Yuups disini no electriciy, jadi buat kalian - kalian yang gadget mania, bisa mati gaya deh disini :evil_grin:. Memang untuk listrik, masih belum masuk sampai sekarang, tapi udah ada beberapa rumah (kalo ga salah tiga rumah) sudah ada yang punya TV, dan sumber energinya dari aki. Trus kita - kita juga diperbolehkan untuk nginap disana tapiii reservasi dulu ya, biar mereka bisa menyediakan tempatnya

Nah ngomongin soal adat istiadat disana, itu masih sangat kental, jadi walopun mereka beragama Islam, tapi tata caranya lebih mengutamakan adat istiadat yang sudah turun temurun. Seperti tidak boleh mengadakan 'peringatan' ato 'perayaan' di hari Selasa, Rabu dan Sabtu, jadi apa bila Hari Raya Idul Fitri jatuh dihari itu, mereka akan memajukan/memundurkan perayaannya...(berasa kaya tanggal gajian pas ketemu tanggalan merah..bisa maju ato bisa mundur :whistle:). Selain itu juga ada perhitungan hari baik di bulan - bulan tertentu dengan tanggal tertentu untuk melakukan adat istiadat mereka, kalo mau lebih tau lebih detil, bisa ceki - ceki di sini, apa yang di sampein ma Pak Darmawan kurang lebih sama kok



Yang bikin berasa endonesah nya niih, penduduknya sumpeeh masih ramah - ramah dan muraah senyum daan kebiasaan untuk bergotong royong juga masih di pake, pas waktu kesana kemaren kebetulan liat para bapak2nya sedang bergotong royong masangin atap ijuk salah satu rumah penduduknya. Ngomong - ngomong soal bahan bangunan rumahnya selain beratap ijuk yang di claim bisa tahan hingga 20-25 tahun ga bakalan bocor, dindingnya terbuat dari bilik bambu, cuma untuk bangunan sekarang ini disetiap rumah sudah memiliki beberapa jendela, sedangkan bangunan lama yang tersisa dari kejadian tahun 1956 cuma tinggal satu doang, hanya memiliki satu jendela.

Rumah model lama



Selain bertani dan beternak, penduduk sana terutama para perempuannya juga suka bikin kerajinan dari bambu dan peralatan dapur dari pohon nangka yang nantinya dijual atau di barter dengan kerajinan penduduk dari desa sebelah...uiiih masih dilestarikan yaa budaya barter nya. Selain kerajinan, ibu - ibu sana juga suka bikin camilan tradisional yaitu wajit dan engkle, kalo diliat sekilas antara engkle dan wajit itu ga jauh beda, cuma kalo wajit ditumbuk kasar sedangkan engkle ditumbuk halus.
 
sesuai arah jarum jam : Ibu-ibu yang sedang membuat kerajinan, wajik, engkle, model dadakan dengan kerajinan bambu, peralatan dapur dari batang pohon nangka.
Oiya...perempuan- perempuan di Kampung ini terkenal dengan ciri khas sarungnya, jadi apapun kegiatannyanya seperti ke pasar, ke sawah, ato dirumah sekalipun mereka selalu menggunakan sarung. Jadi kalo suatu hari ketemu ibu - ibu dipasar make sarung, naah bisa jadi si ibu dari Kampung Naga, ini candaannya si Pak Darmawan lhooo yaaa

Setelah puas berkeliling dan jeprat jepret sana - sini dan sebelum benar - benar meninggalkan Kampung Naga dan melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya, mari kita bersantai ria sejenak sambil ngeliatin ibu - ibu yang sedang menumbuk padi duluu....




dan tak lupa untuk bernarsis ria jugaa.


Berhubung udah panjang dan sayah juga mo masak dulu , untuk cerita jali - jali ke Candi Cangkuangnya ditunggu di post berikutnya aja yaaaaaaaaah  :bye::bye:







14 komentar:

  1. kalau dapat liburan di alam nan indah seperti ini, sudah lah diikhlasin aja uang yang ditarikin sama kernet nya :) hehehe

    tapi tetep sebel juga sih ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaaa....
      kalo diliat dari uangnya memang ga seberapa sih, tapi yah sedikitt kesal aja, kok ditipu di negri sendiri :(

      Hapus
  2. Keren Kampungnya :)

    BalasHapus
  3. asik...pengen juga kesana. Photo2nya juga asik

    BalasHapus
    Balasan
    1. hayuu... jalan2 k Kampung Naga..refresioong.... :)

      Hapus
  4. Mau liburan kesana jugaa

    BalasHapus
  5. berkunjung, wah indah banget...jadi pengen kesana hehee, ditunggu kunjungannya siapa tahu berminat dengan vcd pembelajaran anak nya ^_^

    BalasHapus
  6. Suka banget liat pemandangan sawah2 dan rumah2 nya dari atas :-)

    BalasHapus